Arsip Kategori: Ramadhan

DOA KETIKA BERZAKAT

Doa Ketika Berzakat

oleh Abu Arsy Anargya As-Sundawy pada 18 Agustus 2012 pukul 5:35 ·
DO’A KETIKA BERZAKAT
Oleh : Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad al-Makassari
Sebagian ulama menyatakan disunnahkan bagi pemilik zakat untuk berdoa saat menyerahkan zakatnya. Menurut mereka, doanya adalah:
“Allahummaj’alhaa maghnaman walaa taj’alhaa maghraman.” 
(Ya Allah, jadikanlah zakat ini bermanfaat bagiku dan janganlah engkau menjadikannya sebagai kerugian)
Mereka berdalil dengan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah rahimahullah. Namun, hadits ini dihukumi sebagai hadits palsu oleh al-Albani dalam Dha’if Sunan Ibni Majah no. 1797 dan Irwa’ al-Ghalil no. 852, karena sumber periwayatannya adalah al-Bakhtari bin ‘Ubaid yang tertuduh pendusta. Wallahu a’lam.

Adapun pihak imam (penguasa), petugas pemerintah yang memungut zakat atau pihak penerima zakat, disunnahkan untuk mendoakan pemilik zakat yang memberinya dengan membaca:
“Allahumma shalli ‘alaih.” 
(Ya Allah, bershalawatlah atasnya).
Atau membaca:
“Allahumma baarik fiihi wa fii maalihi.” 
(Ya Allah, berkahilah dia dan hartanya)
Dalil doa yang pertama adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” 
(At-Taubah: 103)
Demikian pula hadits Ibnu Abi Aufa radhiyallahu ‘anhu: Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam jika didatangi oleh suatu kaum yang menyerahkan zakat mereka, beliau berkata, “Ya Allah, bershalawatlah atas mereka.” Datanglah ayahku menyerahkan zakatnya, beliau pun berkata, “Ya Allah, bershalawatlah atas keluarga Abu Aufa.” 
(HR. Al-Bukhari no. 1497 dan Muslim no. 1078)
Dalil doa yang kedua adalah hadits Wa’il bin Hujr radhiyallahu ‘anhu, disebutkan di dalamnya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan seorang lelaki yang datang menyerahkan zakat untanya:
“Ya Allah, berkahilah dia dan hartanya.” 
(HR. An-Nasa’i, dishahihkan sanadnya oleh al-Albani dalam Shahih Sunan an-Nasa’i no. 2458)
Tatkala ayat dan hadits menunjukkan disunnahkannya hal itu bagi imam (penguasa) dan petugasnya, menjadi sunnah pula bagi pihak penerima zakat yang menerimanya langsung dari pemilik zakat, sebab imam (penguasa) dan petugasnya merupakan wakil pihak penerima zakat. Jadi, hukumnya sunnah, bukan wajib!
Wallahu a’lam.
[Faedah ini diambil dari artikel “Adab Pembayaran Zakat” oleh Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad al-Makassari dalam majalah Asy Syariah no. 62/VI/1431 H/2010, hal. 20]
Tambahan penulis : (Abu Arsy ) Ada juga pada saat menyerahkan zakat di masjid, yang menyerahkan zakat (muzzaki) di minta untuk mengucapkan niat seperti berikut ; “Nawaitu an ukhrijal zakatal fitri ‘an nafsi (atau sebutkan nama) fardhollillahi Ta’ala.”
Saya pernah mengalami hal ini, ketika menyerahkan zakat saya di minta untuk duduk, kemudian berjabat tangan seperti ijab kabul dalam pernikahan, saya sempat kaget dan tersenyum.. dan saya katakan “Maaf…Niat adanya ada didalam hati, tidak perlu di ucapkan, dengan datangnya saya ke masjid ini saya sudah berniat dari rumah akan menyerahkan zakat fitrah ini, apakah kita hendak mengajarkan kepada manusia dalam hal berzakat ataukah mengabarkan kepada Allaah bahwa saya akan berzakat?? sedangkan Allaah Maha Mengetahui apa-apa yang akan terjadi dan yang sudah terjadi.”

~Selesai~

Semoga bermanfaat

Catatan yang terkait
.

ZAKAT FITRI 7

Zakat Fitri 7

ZAKAT FITRI 7
oleh Abu Arsy Anargya As-Sundawy pada 17 Agustus 2012 pukul 7:35 ·
Bolehkah memberikan zakat fitri kepada orang kafir?
Ibnul Mundzir mengatakan, “Ulama sepakat bahwasanya zakat harta itu tidak sah jika diberikan kepada orang kafir dzimmi.” (Al-Ijma’ijma’ ke 114)
Di antara dalil yang menyatakan terlarangnya penyerahan zakat kepada orang kafir adalah hadis Mu’adz bin Jabal yang diutus Nabi ke Yaman. Nabi mengajarkan kepada Mu’adz agar mendakwahi mereka untuk masuk Islam, kemudian shalat, kemudian berzakat. Ketika Nabi mengajarkan tentang zakat, beliau mengatakan, “Diambil dari orang kaya di antara mereka dan dikembalikan kepada orang fakir di antara mereka.” Kata “mereka” dalam hadis ini adalah ‘masyarakat Yaman yang telah masuk Islam’.

Walaupun begitu, ulama bersilang pendapat tentang zakat fitri. Abu Hanifah membolehkan penyerahan zakat fitri kepada orang kafir. Demikian pula, Amr bin Maimun, Amr bin Syurahbil Asy-Sya’bi, dan Al-Hamdani pernah memberikan zakat fitri kepada pendeta Nasrani.
Adapun mayoritas ulama, di antaranya: Malik, Al-Laits, Ahmad, Abu Tsaur, dan Asy-Syafi’i berpendapat bahwa tidak boleh menyerahkan zakat fitri kepada orang kafir. Insya Allah, pendapat inilah yang lebih kuat, karena fungsi zakat fitri adalah mencukupi kebutuhan kaum muslimin di pagi hari raya sehingga mereka bisa berbahagia bersama mukmin lainnya. Fungsi ini tidak akan tercapai jika zakat tersebut diberikan kepada orang kafir. Allahu a’lam.
Bolehkah memberikan zakat fitri kepada kerabat yang miskin?
Dalam hal ini, perlu dirinci status kekerabatannya:
  1. Kerabat yang masih dalam tanggungan kita (pemberi zakat). Contoh: orang tua, anak, atau adik yang tinggal bersama kita atau menjadi tanggungan kita.
  2. Kerabat yang menjadi tanggungan orang lain. Contoh, adik perempuan yang sudah menikah dan suaminya berkecukupan, adik yang masih dalam tanggungan orang tua, dan lain-lain.
  3. Kerabat miskin yang tidak dalam tanggungan pemberi zakat maupun orang lain. Misalnya, saudara laki-laki yang telah menikah, atau suami yang miskin sementara istrinya kaya.
Untuk kerabat pertama dan kedua, seseorang tidak boleh menyerahkan zakatnya kepada mereka.
  • Untuk orang yang masih dalam tanggungan kita, mereka tidak boleh mendapat zakat dari kita karena kita memiliki kewajiban untuk memberikan nafkah kepadanya.
  • Untuk kerabat yang telah menjadi tanggungan orang lain, mereka tidak diberi zakat karena sudah ada yang menanggung hidupnya sehingga tidak digolongkan sebagai orang miskin, kecuali jika orang yang menanggung adalah orang miskin.
Adapun kerabat yang ketiga, mereka boleh mendapat zakat dari kita karena statusnya sebagaimana orang miskin. Allahu a’lam.
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan, “Jika kerabat dekat tidak dalam tanggunganmu maka berikanlah zakat hartamu. Jika termasuk orang yang engkau tanggung maka jangan engkau beri. Janganlah engkau berikan zakat untuk orang yang engkau tanggung nafkahnya.” (Hr. Al-Atsram, dalam Sunan-nya)
Catatan:
Dianjurkan mendahulukan kerabat yang miskin daripada orang miskin yang lain.
  • Dari Salman bin Amir radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sedekah untuk orang miskin (yang bukan kerabat) hanya bernilai sedekah, sedangkan sedekah yang diberikan kepada kerabat miskin itu bernilai sedekah dan menjalin silaturahim.” (Hr. Ahmad; dinilai sahih oleh Syekh Syu’aib Al-Arnauth)
  • Dari Zainab radhiallahu ‘anha, istri Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu; beliau menceritakan bahwa dirinya dan salah seorang wanita Anshar bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bolehkah zakat kami diberikan kepada suami kami atau anak yatim yang tinggal bersama kami?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya, boleh, dan baginya dua pahala: pahala karena menyambung kekerabatan dan pahala sedekah.” (Hr. Muslim)
Keterangan: Seorang suami yang miskin boleh mendapatkan zakat dari istrinya karena suami bukanlah tanggungan istrinya. Namun, sebaliknya, seorang istri tidak boleh menerima zakat dari suami karena istri merupakan tanggungan suaminya.
  • Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Abu Thalhah pernah menyedekahkan kebun kurma Bairuha’ yang berada di depan masjid. Karenanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammenasihatkan, “Sesungguhnya, aku menyarankan agar engkau berikan kepada kerabat dekatmu.” (Hr. Al-Bukhari dan Muslim)
DIANJURKAN ADANYA PANITIA YANG MENANGANI ZAKAT DAN MENGUMPULKAN ZAKAT KEPADA PANITIA?
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mewakilkan kepada Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu untuk menjagazakat fitrah. (Hr. Al-Bukhari)
Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma menyerahkan zakat fitri kepada panitia zakat. (Hr. Al-Bukhari)
Dua riwayat di atas menunjukkan bahwa salah satu kebiasaan para sahabat, baik di masa Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup maupun setelah beliau meninggal, adalah mengumpulkan zakat fitri kepada panitia, untuk dibagikan ketika hari raya.
Mulla Ali Qari mengatakan, “Hadis Abu Hurairah di atas menunjukkan bahwa para sahabat mengumpulkan zakat fitri (zakat fitrah) mereka, kemudian menyerahkannya kepada seseorang untuk membagikannya.” (Al-Mirqah, 6:480)
Catatan: Tidak diperbolehkan adanya jual beli beras di masjid karena ada hadis yang melarangtransaksi jual beli di masjidYufidia
Semoga catatan-catatan yang selama ini saya share dapat mendambah ilmu dan wawasan kita tentang agama yang haq ini, dan semoga bermanfaat bagi pembaca semua, khususnya bagi saya pribadi semoga kita dapat di amalkannya.
~SELESAI~
.

ZAKAT FITRI 6

Zakat Fitri 6

ZAKAT FITRI 6
oleh Abu Arsy Anargya As-Sundawy pada 16 Agustus 2012 pukul 20:21 ·
SIAPA YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT?
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri … sebagai makanan bagi orang miskin ….” 
(Hr. Abu Daud; dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani)
Hadis ini menunjukkan bahwa salah satu fungsi zakat fitri adalah sebagai makanan bagi orang miskin. Ini merupakan penegasan bahwa orang yang berhak menerima zakat fitri adalah golongan fakir dan miskin.

Bagaimana dengan enam golongan yang lain?
Dalam surat At-Taubah, Allah berfirman,
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ (التوبة: 60)
Sesungguhnya, zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah.” (Qs. At-Taubah:60)
Ayat di atas menerangkan tentang delapan golongan yang berhak menerima zakat. Jika kata “zakat” terdapat dalam Alquran secara mutlak, artinya adalah ‘zakat yang wajib’. Oleh sebab itu, ayat ini menjadi dalil yang menguraikan golongan-golongan yang berhak mendapat zakat harta, zakat binatang, zakat tanaman, dan sebagainya.
Meskipun demikian, apakah ayat ini juga berlaku untuk zakat fitri, sehingga delapan orang yang disebutkan dalam ayat di atas berhak untuk mendapatkan zakat fitri? Dalam hal ini, ulama berselisih pendapat.
  • Pertama, zakat fitri boleh diberikan kepada delapan golongan tersebut. Pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama. Mereka berdalil dengan firman Allah pada surat At-Taubah ayat 60 di atas. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menamakan zakat fitri dengan “zakat”, dan hukumnya wajib untuk ditunaikan. Karena itulah, zakat fitri berstatus sebagaimana zakat-zakat lainnya yang boleh diberikan kepada delapan golongan. An-Nawawi mengatakan, “Pendapat yang terkenal dalam mazhab kami (Syafi’iyah) adalah zakat fitri wajib diberikan kepada delapan golongan yang berhak mendapatkan zakat harta.” (Al-Majmu’)
  • Kedua, zakat fitri tidak boleh diberikan kepada delapan golongan tersebut, selain kepada fakir dan miskin. Ini adalah pendapat Malikiyah, Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah, dan Ibnul Qayyim. Dalil pendapat kedua:
1. Perkataan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammewajibkan zakat fitri … sebagai makanan bagi orang miskin ….” (Hr. Abu Daud; dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani)
Berkaitan dengan hadis ini, Asy-Syaukani mengatakan, “Dalam hadis ini, terdapat dalil bahwa zakat fitri hanya (boleh) diberikan kepada fakir miskin, bukan 6 golongan penerima zakat lainnya.” (Nailul Authar, 2:7)
2. Ibnu Umar mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa memerintahkan zakat fitri dan membagikannya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Cukupi kebutuhan mereka agar tidak meminta-minta pada hari ini.’” (Hr. Al-Juzajani; dinilai sahih oleh sebagian ulama)
  • – Yazid (perawi hadis ini) mengatakan, “Saya menduga (perintah itu) adalah ketika pagi hari di hari raya.”
  • – Dalam hadis ini, ditegaskan bahwa fungsi zakat fitri adalah untuk mencukupi kebutuhan orang miskin ketika hari raya.
Sebagian ulama mengatakan bahwa salah satu kemungkinan tujuan perintah untuk mencukupi kebutuhan orang miskin di hari raya adalah agar mereka tidak disibukkan dengan memikirkan kebutuhan makanan di hari tersebut, sehingga mereka bisa bergembira bersama kaum muslimin yang lainnya.
Di samping dua alasan di atas, sebagian ulama (Ibnul Qayyim) menegaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiallahu ‘anhum tidak pernah membayarkan zakat fitri kecuali kepada fakir miskin. Ibnul Qayyim mengatakan, “Bab ‘Zakat Fitri Tidak Boleh Diberikan Selain kepada Fakir Miskin’. Di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mengkhususkan orang miskin dengan zakat ini. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah membagikan zakat fitri kepada seluruh delapan golongan, per bagian-bagian. Beliau juga tidak pernah memerintahkan hal itu. Itu juga tidak pula pernah dilakukan oleh seorang pun di antara sahabat, tidak pula orang-orang setelah mereka (tabi’in). Namun, terdapat salah satu pendapat dalam mazhab kami bahwa tidak boleh menunaikan zakat fitri kecuali untuk orang miskin saja. Pendapat ini lebih kuat daripada pendapat yang mewajibkan pembagian zakat fitri kepada delapan golongan.” (Zadul Ma’ad, 2:20)
Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa orang yang berhak menerima zakatadalah fakir miskin saja.
Catatan:
Sebagian orang memberikan zakat fitri untuk pembangunan masjid, rumah sakit Islam, yayasan-yayasan Islam, atau pemuka agama. Apa hukumnya?
  • Jika kita mengambil pendapat bahwa zakat fitri hanya boleh diberikan kepada fakir miskin maka memberikan zakat fitri kepada masjid, yayasan Islam, atau tokoh masyarakat yang bukan orang miskin itu termasuk tindakan memberikan zakat kepada sasaran yang tidak berhak. Sebagian ulama menerangkan bahwa memberikan zakat kepada golongan yang tidak berhak itu dinilai sebagai tindakan durhaka kepada Allah dan kewajibannya belum gugur. Artinya, zakat fitrinya harus diulangi.
  • Jika kita bertoleransi terhadap pendapat yang membolehkan pemberian zakat fitri kepada semua golongan yang delapan maka perlu diketahui bahwasanya masjid, yayasan Islam, atau pemuka agama tidaklah termasuk dalam delapan golongan tersebut. Masjid atau yayasan tidak bisa digolongkan sebagai “fi sabilillah”.
  • Demikian pula terkait pemuka agama. Jika dia orang yang berkecukupan maka dia tidak berhak diberi maupun menerima zakat karena zakat ini adalah hak orang fakir miskin. Jika ada pemuka agama atau tokoh masyarakat yang menerima zakat atau bahkan meminta zakat maka berarti dia telah menyita hak orang lain.
Bolehkah panitia zakat fitri menerima bagian zakat fitri?
Panitia yang bertugas mengumpulkan zakat fitri –statusnya– tidak sebagaimana amil dalam zakat harta yang berhak mendapatkan bagian zakat karena amil zakat adalah orang yang diangkat secara resmi oleh pemerintah untuk menarik dan mengumpulkan zakat dari pemilik harta. Mereka memiliki kekuasaan dan wewenang untuk memaksa, dan statusnya sebagaimana wakil pemerintah dalam mengurus zakat.
Sifat-sifat semacam ini tidak ditemukan pada panitia zakat fitri di tempat kita karena panitia zakat fitri hanyalah bertugas mengumpulkan dan membagikan zakat dan tidak punya wewenang sedikit pun untuk memaksa. Posisinya hanya sebagaimana wakil orang yang menunaikan zakat fitri. Oleh karena itu, mereka tidak bisa digolongkan sebagai amil zakat harta. Sesuatu akan digolongkan kepada kelompok tertentu jika dia memiliki ciri yang sama dengan kelompok tersebut.
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa panitia zakat tidak berhak menerima zakat kecuali jika panitia tersebut termasuk orang miskin. Jika panitia tersebut adalah orang miskin maka dia berhak menerima karena statusnya sebagai orang miskin yang berhak menerima zakat, bukan karena statusnya sebagai amil zakat, bukan pula sebagai upah untuk tugas menangani zakat.
Bolehkah panitia diberi upah dengan mengambil sebagian zakat fitri?
Telah ditegaskan bahwa zakat fitri adalah hak fakir miskin sehingga zakat ini tidak boleh diberikan kepada selain mereka atau dimanfaatkan untuk kepentingan yang lain, apa pun bentuknya, karena ini berarti menyita hak mereka. Termasuk dalam hal ini adalah menjadikan zakat fitri sebagai upah untuk panitia atau dijual sebagian untuk menutupi biaya pengurusan zakat.
Jika panitia zakat adalah orang-orang yang bekerja dengan upah atau dibutuhkan biaya untuk pengurusan zakat maka upah atau biaya tersebut tidak boleh diambil dari zakat fitri, namun diambil dari kas masjid atau yang lainnya.
Ringkasnya, pengurus zakat fitri tidak berhak menerima bagian dari zakat fitri karena dua alasan:
  1. Jika kita berpendapat bahwa zakat fitri itu boleh diberikan kepada 8 golongan maka panitia zakat fitri tidak berhak menerima zakat fitri karena mereka tidak termasuk dalam 8 golongan tersebut. Mereka bukanlah amil zakat, berdasarkan pengertian “amil”.
  2. Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa amil zakat tidak berhak menerima zakat fitri.
Apa standar “miskin”?
Pengertian “miskin” dikembalikan pada kondisi masyarakat setempat; standar ini berubah sesuai dengan perubahan waktu dan tempat. Orang miskin masa silam, memiliki standar yang berbeda dengan orang miskin masa sekarang. Demikian pula, orang miskin Indonesia kondisinya berbeda dengan miskin negeri Eropa. Oleh karena itu, selama masyarakat setempat menyebut orang tertentu statusnya miskin maka orang tersebut berhak untuk mendapatkan zakat fitri di tempat tersebut.
Orang miskin yang saleh lebih diutamakan untuk mendapatkan zakat
Syekhul Islam mengatakan, “Tidak selayaknya zakat diberikan kepada orang yang tidak menggunakannya untuk ketaatan kepada Allah karena Allah mewajibkan zakat sebagai bantuan untuk melakukan ketaatan kepada Allah, bagi orang beriman yang membutuhkan, seperti: orang miskin, orang yang terlilit utang, … maka orang yang membutuhkan namun meninggalkan shalat tidak boleh diberi zakat sedikit pun, sampai dia bertobat dan dipaksa untuk melakukan shalat.” (Ahkam Zakat Fitri)
Ibnul ‘Arabi mengatakan, “Adapun tentang seorang muslim yang suka berbuat maksiat, maka tidak ada perselisihan pendapat bahwa zakat fitri boleh diberikan kepada mereka kecuali jika orang tersebut meninggalkan rukun-rukun Islam, seperti: shalat atau puasa. Zakat tidak boleh diberikan kepadanya sampai dia bertobat.” (Tafsir Al-Qurthubi, untuk surat At-Taubah ayat 60)
Akan tetapi, jika sampai zakat fitri itu jatuh ke tangan orang miskin yang fasik atau meninggalkan puasa maka penunaian zakat tersebut tetap sah dan tidak perlu diulangi. Sebagaimana hadis yang terdapat dalam Shahih Muslim, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bercerita tentang seseorang yang memberikan zakatnya kepada orang kaya, pencuri, dan pelacur, karena sebelumnya dia tidak tahu. Meski demikian, zakatnya tetap diterima.
Masih bersambung juga… Insya Allaah
.
Bottom of Form
.

CARA NIAT PUASA RAMADHAN YANG BENAR

Cara Niat Puasa Ramadhan Yang Benar

oleh Kemuning Berseri pada 2 Agustus 2012 pukul 6:02 ·
CARA NIAT PUASA RAMADHAN YANG BENAR
Niat Puasa
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum
Ustadz, niat puasa Ramadhan yang benar bagaimana? Apakah cukup satu kali untuk 1 bulan penuh atau tiap malam kita selalu niat.
Terima kasih atas jawabannya
Dari: Adi

Jawaban:
Wa’alaikumussalam
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah  
KonsultasiSyariah.com beberapa kali mendapatkan pertanyaan tentang tata cara niat puasa Ramadhan, ada juga yang menanyakan lafadz niat puasa Ramadhan. Semoga keterangan berikut bisa memenuhi apa yang diharapkan.
Pertama, dari mana asal melafalkan niat?
Keterangan yang kami pahami, munculnya anjuran melafalkan niat ketika beribadah, berawal dari kesalah-pahaman terhadap pernyataan Imam As-Syafi’i terkait tata cara shalat. Imam As-Syafi’i pernah menjelaskan:
الصَّلَاةِ لَا تَصِحُّ إلَّا بِالنُّطْقِ
“….shalat itu tidak sah kecuali dengan an-nuthq.” (Al-Majmu’ Syarh Muhadzab, 3:277)
An nuthq artinya berbicara atau mengucapkan. Sebagian Syafi’iyah memaknai an nuthq di sini dengan melafalkan niat. Padahal ini adalah salah paham terhadap maksud beliau rahimahullah
Dijelaskan oleh An Nawawi bahwa yang dimaksud dengan an nuthq di sini bukanlah mengeraskan bacaan niat. Namun maksudnya adalah mengucapkan takbiratul ihram. An-Nawawi mengatakan,
قَالَ أَصْحَابُنَا غَلِطَ هَذَا الْقَائِلُ وَلَيْسَ مُرَادُ الشَّافِعِيِّ بِالنُّطْقِ فِي الصَّلَاةِ هَذَا بَلْ مُرَادُهُ التَّكْبِيرُ
“Ulama kami (syafi’iyah) mengatakan, ‘Orang yang memaknai demikian adalah keliru. Yang dimaksud As Syafi’i dengan an nuthq ketika shalat bukanlah melafalkan niat namun maksud beliau adalah takbiratul ihram’.” (Al Majmu’, 3:277).
Kesalahpahaman ini juga dibantah oleh Abul Hasan Al Mawardi As Syafi’i, beliau mengatakan,
فَتَأَوَّلَ ذَلِكَ – الزُّبَيْرِيُّ – عَلَى وُجُوبِ النُّطْقِ فِي النِّيَّةِ ، وَهَذَا فَاسِدٌ ، وَإِنَّمَا أَرَادَ وُجُوبَ النُّطْق بِالتَّكْبِيرِ
“Az Zubairi telah salah dalam menakwil ucapan Imam Syafi’i dengan wajibnya mengucapkan niat ketika shalat. Ini adalah takwil yang salah, yang dimaksudkan wajibnya mengucapkan adalah ketika ketika takbiratul ihram.” (Al-Hawi Al-Kabir, 2:204).
Karena kesalah-pahaman ini, banyak kiyai yang mengkalim bermadzhab syafiiyah di tempat kita yang mengajarkan lafal niat ketika shalat. 
Selanjutnya masyarakat memahami bahwa itu juga berlaku untuk semua amal ibadah. Sehingga muncullah lafal niat wudhu, niat tayamum, niat mandi besar, niat puasa, niat zakat, niat sedekah, dst. 
Sayangnya, pak kiyai tidak mengajarkan lafal niat untuk semua bentuk ibadah. Di saat itulah, banyak masyarakat yang kebingungan, bagaimana cara niat ibadah yang belum dia hafal lafalnya?
Itu artinya, anjuran melafalkan niat yang diajarkan sebagian dai, telah menjadi sebab timbulnya keraguan bagi masyarakat dalam kehidupan beragamanya. 
Padahal ragam ibadah dalam Islam sangat banyak. Tentu saja, masyarakat akan kerepotan jika harus menghafal semua lafal niat tersebut. Padahal bukankah Islam adalah agama yang sangat mudah? Jika demikian, berarti itu bukan bagian dari syariat Islam.
Beberapa waktu yang lalu, KonsultasiSyariah.com mendapat pertanyaan yang cukup aneh, bagaimana lafal niat sahur yang benar? Meskipun pertanyaan ini bukan main-main, namun kami sempat terheran ketika ada orang yang sampai kebingungan dengan niat sahur. 
Bukankah ketika orang itu makan menjelang subuh, dalam rangka berpuasa di siang harinya, bisa dipastikan dia sudah berniat sahur?
Lagi-lagi, menetapkan amal yang tidak disyariatkan, pasti akan memberikan dampak yang lebih buruk dari pada manfaat yang didapatkan.
Kedua, sesungguhnya niat adalah amal hati
Siapapun ulama sepakat dengan hal ini. Niat adalah amal hati, dan bukan amal lisan.
Imam An-Nawawi mengatakan:
النية في جميع العبادات معتبرة بالقلب ولا يكفي فيها نطق اللسان مع غفلة القلب ولا يشترط
“Niat dalam semua ibadah yang dinilai adalah hati, dan tidak cukup dengan ucapan lisan sementara hatinya tidak sadar. Dan tidak disyaratkan dilafalkan,…” (Raudhah at-Thalibin, 1:84)
Dalam buku yang sama, beliau juga menegaskan:
لا يصح الصوم إلا بالنية ومحلها القلب ولا يشترط النطق بلا خلاف
“Tidak sah puasa kecuali dengan niat, dan tempatnya adalah hati. Dan tidak disyaratkan harus diucapkan, tanpa ada perselisihan ulama…” (Raudhah at-Thalibin, 1:268)
Dalam I’anatut Thalibin –salah satu buku rujukan bagi syafiiyah di Indonesia–, Imam Abu Bakr ad-Dimyathi As-Syafii juga menegaskan:
أن النية في القلب لا باللفظ، فتكلف اللفظ أمر لا يحتاج إليه
“Sesungguhnya niat itu di hati bukan dengan diucapkan. Memaksakan diri dengan mengucapkan niat, termasuk perbuatan yang tidak butuh dilakukan.” (I’anatut Thalibin, 1:65).
Tentu saja keterangan para ulama dalam hal ini sangat banyak. Semoga 3 keterangan dari ulama syafiiyah di atas, bisa mewakili. Mengingat niat tempatnya di hati, maka memindahkan niat ini di lisan berarti memindahkan amal ibadah bukan pada tempatnya. Dan tentu saja, ini bukan cara yang benar dalam beribadah.

Ketiga, inti niat.
Mengingat niat adalah amal hati, maka inti niat adalah keinginan. Ketika Anda menginginkan untuk melakukan seuatu maka Anda sudah dianggap berniat. Baik amal ibadah maupun selain ibadah. Ketika Anda ingin makan, kemudian Anda mengambil makanan sampai Anda memakannya, maka Anda sudah dianggap niat makan. Demikian halnya ketika Anda hendak shalat dzuhur, Anda mengambil wudhu kemudian berangkat ke masjid di siang hari yang panas, sampai Anda melaksanakan shalat, tentu Anda sudah dianggap berniat.
Artinya modal utama niat adalah kesadaran. Ketika Anda sadar dengan apa yang akan Anda kerjakan, kemudian Anda berkeinginan untuk mengamalkannya maka Anda sudah dianggap berniat. Ketika Anda sadar bahwa besok Ramadhan, kemudian Anda bertekad besok akan puasa maka Anda sudah dianggap berniat. Apalagi jika malam harinya Anda taraweh dan makan sahur. Tentu ibadah semacam ini tidak mungkin Anda lakukan, kecuali karena Anda sadar bahwa esok pagi Anda akan berpuasa Ramadhan. Itulah niat.
Syaikhul Islam pernah ditanya seperti berikut:
Bagaimana penjelasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentang niat puasa Ramadhan; apakah kita harus berniat setiap hari atau tidak?
Jawaban beliau:
كُلُّ مَنْ عَلِمَ أَنَّ غَدًا مِنْ رَمَضَانَ وَهُوَ يُرِيدُ صَوْمَهُ فَقَدْ نَوَى صَوْمَهُ سَوَاءٌ تَلَفَّظَ بِالنِّيَّةِ أَوْ لَمْ يَتَلَفَّظْ . وَهَذَا فِعْلُ عَامَّةِ الْمُسْلِمِينَ كُلُّهُمْ يَنْوِي الصِّيَامَ
“Setiap orang yang tahu bahwa esok hari adalah Ramadhan dan dia ingin berpuasa, maka secara otomatis dia telah berniat berpuasa. Baik dia lafalkan niatnya maupun tidak ia ucapkan. Ini adalah perbuatan kaum muslimin secara umum; setiap muslim berniat untuk berpuasa.” (Majmu’ Fatawa, 6:79)

Keempat, niat puasa Ramadhan
Untuk puasa wajib, seorang muslim wajib berniat sebelum masuk waktu subuh. Hal ini berdasarkan hadis dari Hafshah radhiallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
من لم يُبَيِّتِ الصيامَ من الليل فلا صيامَ له
Barangsiapa yang belum berniat puasa di malam hari (sebelum subuh) maka puasanya batal.” 
(HR. An Nasa’i dan dishahihkan Al Albani)
Dalam riwayat yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ، فَلَا صِيَامَ لَهُ
Barangsiapa yang belum berniat puasa sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya.” 
(HR. Abu Daud, Ibnu khuzaimah, baihaqi)
Ketentuan ini berbeda dengan puasa sunah. Berdasarkan riwayat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menemui Aisyah di siang hari di luar Ramadhan, kemudian beliau bertyanya:
هَلْ عِنْدَكُمْ غَدَاءٌ؟ وَإِلَّا , فَإِنِّي صَائِمٌ
Apa kamu punya makanan untuk sarapan? Jika tidak, saya tak puasa.” 
(HR. Nasai, Ad-daruquthni, Ibnu Khuzaimah)

Kelima, apakah boleh berniat puasa langsung sebulan penuh, ataukah harus tiap malam mengulang niat?
Pada prinsipnya, ketika Anda sadar bahwan besok pagi mau puasa, maka Anda sudah dianggap berniat. Apalagi jika Anda makan sahur. Bisa dipastikan Anda sudah niat.
Namun bolehkah seseorang melakukan niat di awal Ramadhan untuk berpuasa penuh satu bulan? Sehingga Andaipun dia lupa atau ada faktor lainnya, sehingga tidak sempat berkeinginan puasa, Anda tetap sah puasanya.
Dalam hal ini ulama berbeda pendapat. Insya Allah pendapat yang kuat adalah boleh. Keterangan selengkapnya bisa Anda baca di:
Allahu a’lam

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com)

.

NIAT PUASA RAMADHAN, SETIAP HARI ATAU SEKALI DALAM SEBULAN ?

Niat Puasa Ramadhan, Setiap Hari Atau Sekali Dalam Sebulan ???

NIAT PUASA RAMADHAN, SETIAP HARI ATAU SEKALI DALAM SEBULAN ???
oleh Abu Arsy Anargya As-Sundawy pada 21 Juli 2012 pukul 22:38 ·

Pertanyaan:
Apakah dalam bulan Ramadhan kita perlu berniat setiap hari ataukah cukup berniat sekali untuk satu bulan penuh?
Jawaban:
Cukup dalam seluruh bulan Ramadhan kita berniat sekali di awal bulan, karena walaupun seseorang tidak berniat puasa setiap hari pada malam harinya, semua itu sudah masuk dalam niatnya di awal bulan. Tetapi jika puasanya terputus di tengah bulan, baik karena bepergian, sakit dan sebagainya, maka dia harus berniat lagi, karena dia telah memutus bulan Ramadhan itu dengan meninggakanpuasa karena perjalanan, sakit dan sebagainya.

Sumber: Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa dan Haji (Fatawa Arkanul Islam), Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Darul Falah, 2007

.